17
Agustus 2016, HUT RI ke-71
Disaat
sebagian besar pemuda sedang sibuk menjadi panitia kegiatan peringatan HUT RI
dengan segala macam jenis kegiatannya, Nda Cuma sedang duduk didepan TV sambil
menonton siaran langsung Upacara Pengibaran Sangsaka Merah Putih dari Istana
Negara di stasiun televisi swasta ditemani segelas kopi, secarik kertas, dan
sebatang pulpen.
Sejujurnya
selain kegiatan di Masjid dan Majelis Ta’lim, Nda nggak pernah ikut dalam kepanitiaan
apapun dilingkungan tempat tinggal Nda.
Nda nggak peduli? Nda nggak mau berpartisipasi?
Jawabannya adalah tidak sama sekali demikian.
Sebagai
putri bangsa, Tentu Nda ingin sekali ikut ambil bagian dalam kegiatan
dimasyarakat, termasuk peringatan HUT RI.
Kalau ingin, kenapa nggak ambil bagian???
Yang
jadi permasalahan bagi Nda adalah, Nda nggak mau ikut campur dalam suatu
perkara yang Nda sendiri tidak tahu menahu pangkal dan ujungnya. Dan dalam hal kepanitiaan
ini, sejak usia Nda masih belasan tahun, dalam kegiatan apapun dilingkungan,
Nda nggak pernah diikut sertakan. Bahkan undangan perkumpulan remaja macam
karang taruna yang sempat aktif dilingkungan Nda, Nda nggak pernah diajak,
bahasa kekiniannya ya Nggak dianggap.
Dan hal seperti ini membuat Nda enggan untuk ikut campur, dan menghasilkan lingkungan yang diskriminatif.
Diskriminatif?
Jahat banget sih Nda bilang diskriminatif!
Kenapa
Nda bisa sebut lingkungan yang diskriminatif?
Jawabannya adalah karena setelan Nda telaah dan Nda cari tahu, ternyata mereka yang selalu diikut sertakan dalam kepanitiaan adalah orang-orang tertentu yang notabene ayah/ibu mereka adalah orang yang terpadang atau pokoknya sesuatu-lah dilingkungan, seperti anak sekretaris RW beserta jajarannya. Dan anak dari orang-orang biasa macam Nda ini hanya bisa jadi penonton.
Jawabannya adalah karena setelan Nda telaah dan Nda cari tahu, ternyata mereka yang selalu diikut sertakan dalam kepanitiaan adalah orang-orang tertentu yang notabene ayah/ibu mereka adalah orang yang terpadang atau pokoknya sesuatu-lah dilingkungan, seperti anak sekretaris RW beserta jajarannya. Dan anak dari orang-orang biasa macam Nda ini hanya bisa jadi penonton.
Awalnya
Nda biasa-biasa saja, tapi semakin hari, semakin bertambah usia, semakin banyak
belajar, apalagi jurusan yang Nda ambil adalah tarbiyah dan Nda sendiri sempat
ngajar anak-anak hingga remaja, Nda jadi mempelajari lingkungan Nda dan
perkembangan anak-anak dilingkungan Nda.
Lingkugan
Nda menjadi seperti kampung mati, remaja dan pemuda dilingkungan Nda itu bisa
dibilang Antara Ada dan Tiada.
Serem banget sih Nda, Antara Ada dan Tiada, Macam hantu aja!
Memang
faktanya begitu, remaja dilingkungan Nda bisa dibilang lumayan banyak, tetapi
mereka asik masing-masing. Autis alias asyik dengan dunianya masing-masing.
Miris banget deh, dimana remaja dan pemuda dengan jumlah yang lumayan banyak ini harusnya udah bisa buat lingkungan ini jadi sesuatu, tapi ternyata sebagian dari mereka hanya menjadi sampah masyarakat.
Kejam ih Nda, masa dibilang sampah masyarakat sih. Mereka kan sama kayak Nda, manusia juga.
Ya seperti
yang kita tahu apa itu sampah, sesuatu yang tidak terpakai, sesuatu yang tidak
layak. Dan seharusnya pemuda dan remaja ini harusnya berpotensi membuat
lingkungan lebih maju, tapi pada kenyataannya sebagian besar dari mereka
terjebak dalam dunia modern dengan segala macam teknologi dan budaya bebas bangsa asing yang
membuat nilai dan moral Bangsa Indonesia ini terhapus secara perlahan. Dan hal semacam ini,
membuat rasa peduli terhadap lingkungan luntur begitu saja. Dan membuat pemuda
dan remaja macam itu asyik dengan dunianya dan mengubur potensi majunya
lingkungan.
Ikh, kalau setiap kampung seperti itu. bisa-bisa beberapa tahun kedepan negara dan bangsa kita hancur donk Nda? Tapi, kok bisa seperti itu sih, penyebabnya apa ya??
Sebenarnya
sih banyak faktor, salah satunya itu adalah faktor keluarga. Dimana seharusnya
keluarga memberi contoh baik dan menanamkan nilai-nilai luhur, berbangsa dan
bernegara dengan baik kepada anak-anaknya, dimana masa kanak-kanak adalah masa penanaman nilai dan
masa remaja adalah masa pemupukan. Kalau dikeluarga nggak menanamkan hal
seperti itu ya, tinggal lihat aja kebobrokan moral anak itu nanti saat dewasa.
Faktor
yang paling mempengaruhi juga adalah faktor lingkungan hidup, dimana seorang
anak berinteraksi dengan orang-orang dilingkungannya. Contohnya, dikampung
Inggris semua orang berbahasa inggris, bahkan anak-anak. Padahal kita
bertahun-tahun belajar Bahasa Inggris belum tentu bisa selancar itu bicara
dalam Bahasa Inggris,hal itu disebabkan karena lingkungan
mereka membiasakan untuk berbahasa Inggris.
Tapi
hal yang Nda bahas kali ini bukan tentang berbahasa, tapi tentang pemuda dan
potensinya. Jadi, setelah 2-3 tahun ini Nda cari tahu, diluar sanapun banyak
pemuda/i, remaja/i macam Nda ini, yang sebenarnya ingin berpartisipasi dalam
kegiatan dilingkungan bahkan memiliki banyak ide yang berpotensi untuk
membangun lingkungan menjadi lebih baik, tapi nggak mendapatkan kesempatan
untuk mengutarakan ide-idenya dikarenakan lingkungan yang diskriminatif dan
kebanyakan dari mereka yang berpotensi besar adalah anak-anak dari orang-orang
biasa.
Kok
bisa sih, jadi lingkungan yang diskriminatif??
Bisa,
hal seperti ini dikarenakan tidak adanya wadah untuk remaja dan pemuda untuk
mengembangkan potensi diri, seperti karang taruna.
Dimana
dalam berorganisasi setiap anggotanya dilatih untuk bertanggung jawab dan
mandiri, maka dengan berorganisasi remaja dan pemuda dituntut untuk mengeluarkan
potensi diri mereka, bersosialisasi dengan baik, juga memupuk kepedulian
terhadap sesama. Dan hal semacam ini membuat anggota organisasi berjalan menuju
dewasa dengan arah yang baik dan positif dan generasi yang seperti ini akan
menghasilkan generasi yang lebih baik dimasa depan. Dan dalam organisasi karang
taruna di tingkat lingkungan hidup, dimana pengurus dan anggotanya semuanya
adalah remaja dan pemuda, dan para orang tua hanya menjadi penasihat. Hal ini
memungkinkan untuk membentuk generasi yang unggul dilngkungan kita.
Dan memang, dari semua teman-teman senasib dengan Nda, yang tidak dianggap dalam lingkungan adalah mereka yang hidup dilingkungan diskriminatif tanpa adanya Organisasi Pemuda macam Karang Taruna.
Nda, jadi kita bicara apa sih? 17 Agustusan, Remaja dan potensinya, atau Karang Taruna?
Sebenarnya
sih, tulisan ini Cuma sigkat dari apa yang ada didalam pikiran Nda, dan bagian
dari Curhatan Nda, karena nggak pernah diajak dalam kepanitiaan dilingkungan.
Tapi, disamping curhatan Nda. Selama beberapa tahun ini Nda banyak belajar tentang remaja dan potensinya dan seringkali mendengar curhatan beberapa murid Nda yang berusia kisaran 15-17 tahun mengenai diskriminasi yang terjadi dilingkungan, jadi curhatan dan opini Nda diatas bukan opini kosong yang keluar dari hati yang kecewa, akhay deeuh.
Dan akhir-akhir ini Nda memiliki keinginan untuk membentuk Karang Taruna dilingkungan tempat Nda tinggal, karena kalau dari kacamata Nda, kampung Nda yang mati ini, berpotensi maju kalau pemuda dan remaja bisa bersatu dan saling bahu membahu membangun lingkungan tanpa melihat dia anak siapa. Karena mereka yang Nda sebuat sampah masyarakatpun sebenarnya memiliki potensi yang sama dengan mereka yang aktif dilingkungan untuk membangun masyarakat dan lingkungan yang lebih baik dan memajukan bangsa.
Sekian
celoteh ringan Nda, moga manfaat ya Guys....
Baca
juga tulisan Nda yang lain ya di ndajulinda.blogspot.co.id
Azeek
BalasHapus:-)
BalasHapus